Rabu

Penolakan Perubahan



  1. PENOLAKAN PADA TINGKAT INDIVIDUAL

Menurut Sondang P. Siagian (2004:77), kecenderungan para individu dalam organisasi menolak perubahan dapat dikatakan bersumber pada lima faktor, yaitu:
  1. Kebiasaan
Manusia cenderung mengandalkan kebiasaan untuk menyederhanakan kehidupan yang serba rumit sekarang ini. Dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging, lebih mudah bagi seseorang untuk memberikan respons yang sudah terprogram. Akan tetapi apabila dihadapkan kepada tuntutan perubahan, kebiasaan tersebut menjadi sumber penolakan.
  1. Ancaman terhadap rasa aman
Apabila perubahan yang akan terjadi dipandang sebagai ancaman terhadap rasa aman dalam pekerjaan, jabatan, karier dan penghasilan seseorang akan cenderung menolak perubahan tersebut.
  1. Faktor ekonomi
Jika perubahan diperkirakan akan berakibat pada berkurangnya penghasilan seseorang, ia akan menolak perubahan tersebut.
  1. Ketakutan pada hal-hal yang asing
Manusia tidak menyukai sesuatu yang asing. Jika perubahan akan membawa sesuatu yang asing, terjadi penolakan karena seseorang memandang bahwa yang asing itu membawa ketidakjelasan dan ketidakpastian.
  1. Proses informasi selektif
Telah umum diketahui bahwa seseorang “menciptakan dunianya” melalui persepsi tertentu yang dikembangkannya. Dengan “dunia ciptaanya” itu seseorang akan menolak perubahan karena ia tidak mau ada gangguan terhadap  keutuhan persepsi yang telah dibentuknya itu.

  1. PENOLAKAN PADA TINGKAT ORGANISASI

Dapat dikatakan bahwa organisasi memiliki sifat dasar, yaitu konservatif. Artinya, organisasi secara aktif menolak perubahan. Para pakar telah menemukan enam faktor penyebab mengapa terjadi penolakan terhadap perubahan pada tingkat organisasi, yaitu:
  1. Inersia struktural
Ternyata organisasi pada umumnya mempunyai mekanisme yang sudah melekat  untuk memelihara dalam perjalanan organisasi yang bersangkutan. Sering terjadi bahwa praktek-praktek manajemen diarahkan pada pemeliharaan kontinuitas dan stabilitas tersebut. Inersia struktural sering berperan sebagai tameng terhadap perubahan yang akan mengganggu stabilitas organisasi.
  1. Fokus perubahan yang terbatas
Organisasi dikelola dengan pendekatan kesisteman yang antara lain, berarti bahwa pembagian tugas dilakukan dan satuan-satuan kerja apapun yang diciptakan, satuan-satuan kerja tersebut merupakan “subsistem” dari organisasi sebagai keseluruhan. Oleh karena itu apa yang terjadi pada satu sub sistem pasti akan berpengaruh pula pada berbagai sub sistem yang lain.
  1. Inersia kelompok
Inersia kelompok merupakan situasi dalam mana para anggota kelompok sebagai individu bersedia menerima perubahan akan tetapi terhalang oleh norma-norma kelompok dimana seseorang menjadi anggota.
  1. Ancaman terhadap kemahiran atau keterampilan seseorang
Dalam organisasi yang besar biasanya terdapat sekelompok orang atau karyawan yang merupakan spesialis dalam bidangnya. Jika terjadi perubahan yang akan mengancam keberadaan kelompok itu, maka mereka akan cenderung menolak perubahan yang direncanakan akan terjadi.
  1. Ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang sudah mapan
Para manajer yang sudah terbiasa memiliki dan menggunakan kekuasaan atau kewenangan tertentu- misalnya dalam hal mempromosikan, mendemosikan, mengalihkan tugaskan, memberikan pujian dan mengenakan sanksi kepada para bawahannya-akan cenderung menolak perubahan yang terjadi.
  1.  Ancaman terhadap alokasi dana dan daya
Kelompok-kelompok tertentu dalam organisasi yang sudah terbiasa menguasai sarana, prasarana, daya dan dana pasti akan melihat perubahan sebagai suatu ancaman. Mereka lebih senang jika praktek-praktek yang sudah lama dibiarkan berlanjut.
(dalam Sondang P. Siagian, 2004:79)



  1. MENGELOLA KEKUATAN-KEKUATAN PENGUBAH

Mengubah suatu organisasi berarti mengubah, sistem, struktur dan kultur organisasi yang sudah berlaku ke arah standar atau tingkat kinerja yang berbeda dan biasanya mengejawantah dalam bentuk peningkatan efektivitas organisasi yang bersangkutan, bukan hanya dalam bentuk yang bermanfaat secara internal bagi organisasi seperti dalam hal peningkatan kemampuan menjamin eksistensinya, akan tetapi untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sering bergerak sangat dinamis. Para pakar pada umumnya berpendapat bahwa dalam mengelola perubahan, harus memperhitungkan lima kekuatan, yaitu:
1.      Pendorong perubahan. Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan adalah siapa yang akan berperan sebagai pendorong untuk melakukan perubahan organisasi.
2.      Tingkat dan cakupan perubahan. Manajemen harus memutuskan tingkat dan cakupan perubahan yang akan diwujudkannya. Meskipun dalam arti sebenar-benarnya kegiatan PO mencakup hal-hal yang sifatnya strategis dan menyeluruh, akan tetapi dalam pengertian sempit dan terbatas kegiatan PO dapat pula hanya pada tingkat teknikal dan mencakup bidang yang terbatas.
3.      Kerangka waktu. Faktor ketiga yang harus diperhitungkan adalah kerangka waktu untuk melaksanakan program perubahan tersebut. Pengalaman banyak orang menunjukkan bahwa pendekatan yang gradual, biasanya lebih menjamin keberhasilan program perubahan itu antara lain karena pihak-pihak yang tadinya menentang atau menolak perubahan biasanya berubah sikap setelah melihat hasil positif dari perubahan dari perubahan itu.
4.      Dampak budaya. Penting untuk memperhitungkan dampak perubahan yang akan diwujudkan pada sistem budaya yang berlaku. Hal ini harus diperhitungkan karena makin kuat dampak yang timbul pada sistem dan kultur yang berlaku, kecenderungan timbulnya penolakan pun akan makin pula. Konsekuensinya program perubahan akan semakin sulit dilaksanakan.
5.      Evaluasi perubahan. Suatu sistem penilaian harus dipertimbangkan, salah satu caranya adalah dengan mengembangkan standar atau peningkatan kinerja untuk mengukur tingkat perubahan yang terjadi dan dampaknya terhadap efektivitas organisasi yang melaksanakan perubahan tersebut.

Perubahan Organisasi


  1. Memahami Perubahan

Menurut Pasmore dalam Wibowo (2008:90), perubahan berarti bahwa kita harus mengubah dalam cara mengerjakan atau berpikir tentang sesuatu, yang dapat menjadi mahal dan sulit. Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kuatnya dorongan eksternal dan karena adanya kebutuhan internal ( Wibowo, 2008: 91). Menurut Potts dan LaMarsh dalam Wibowo (2008:91) ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengimplimentasikan perubahan, yaitu:
a.       Bagaimana kita mengetahui adanya sesuatu yang salah pada keadaan sekarang ini?
b.      Aspek apa dari keadaan sekarang ini yang tidak dapat tetap sama?
c.       Seberapa serius masalahnya?
Fullan dalam Wibowo ((2008:92-93) memberikan lima butir kunci tentang perubahan, yaitu sebagai berikut.
a.       Perubahan bersifat cepat dan nonlinear sehingga dapat menimbulkan suasana berantakan. Akan tetapi perubahan juga menawarkan potensi besar untuk terobosan kreatif.
b.      Kebanyakan perubahan dalam setiap sistem terjadi sebagai respons terhadap kekacauan dalam sistem limgkungan internal dan eksternal.
c.       Faktor rasional dalam organisasi termasuk strategi dan operasi tidak terintegrasi dengan baik.
d.      Stakeholder utama dan budaya organisasi menjadi pertimbangan pertama untuk perubahan organisasional.
e.       Perubahan tidak dapat di-manage atau dikelola atau dikontrol.

Tujuan perubahan menurut Robbins dalam Wibowo (2008:93), tujuan perubahan terencana di satu sisi untuk memperbaiki kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan sisi lain mengupayakan perubahan perilaku karyawan. Adapun Potts dan LaMarsh dalam Wibowo (2008:97) mengemukakan adanya empat aspek sasaran perubahan yaitu struktur, orang, proses dan budaya. Adapun jenis perubahan menurut Robbins, Greenberg dan Baron membedakan jenis perubahan menjadi perubahan terencana dan tidak terencana. Kreitner dan Kinicki membagi menjadi adaptive change, innovative change, dan radically innovative change. Sementara itu Hussey menggunakan istilah incremental dan fundamental. Sedangkan Mayerson memperkenalkan dengan tempered change (Wibowo, 2008:101-109). Adapun krakteristik perubahan menurut Costley dan Todd dalam Wibowo (2008: 111) menunjukkan adanya tiga karakteristik perubahan yaitu: rate atau speed of change, direction of change, dan diffusion of change.  

  1. Faktor Pendorong Perubahan
Di antara para pakar ada yang menyebut faktor perubahan ini sebagai kebutuhan akan perubahan yaitu Hussey, Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2008: 74-79). Sementara Robbins, Geenberg dan Baron dalam Wibowo(2008:80-84) menyebutnya sebagai kekuatan untuk perubahan.
1.            Kebutuhan Perubahan Hussey  
Menurut Hussey dalam Wibowo (2008: 74) terdapat enam faktor yang menjadi pendorong bagi kebutuhan akan perubahan, yaitu sebagai berikut.
  1. Perubahan teknologi terus meningkat
  2. Persaingan semakin intensif dan menjadi lebih global
  3. Pelanggan semakin banyak tuntutan
  4. Profil demografis negara berubah
  5. Privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut
  6. Pemegang saham minta lebih banyak nilai

2.            Kebutuhan Perubahan Kreitner dan Kinicki
Sementara itu, Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2008:76) memerhatikan bahwa kebutuhan akan perubahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
  1. Kekuatan eksternal: karakteristik demografis, kemajuan teknologi, perubahan pasar, tekanan sosial dan politik.
  2. Kekuatan internal : problem/prospek SDM, perilaku/keputusan manajerial.

3.            Kekuatan Perubahan Greenberg dan Baron
Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2008: 80) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang merupakan kekuatan di belakang kebutuhan akan perubahan.
  1. Perubahan terencana: perubahan dalam produk atau jasa, perubahan dalam ukuran dan struktur organisasi, perubahan dalam sistem administrasi, dan introduksi teknologi baru.
  2. Perubahan tidak terencana: pergeseran demografis, kesenjangan kinerja, peraturan pemerintah, kompetisi global, perubahan kondisi ekonomi, kemajuan dalam teknologi.
4.            Kekuatan untuk perubahan Robbins
Robbins dalam Wibowo (2008: 83) mengungkapkan adanya enam faktor yang merupakan kekuatan untuk perubahan, yaitu sebagai berikut.
  1. Sifat tenaga kerja
  2. Teknologi
  3. Kejutan ekonomi
  4. Persaingan
  5. Kecenderungan sosial
  6. Politik dunia

5.            Penggerak Perubahan Anderson dan Anderson
Anderson dan Anderson dalam Wibowo (2008:85) mengemukakan bahwa terdapat tujuh faktor penggerak yang dapat memengaruhi berlangsungnya perubahn, yaitu:
  1. Lingkungan
  2. Kebutuhan pasar untuk sukses
  3. Desakan bisnis
  4. Desakan organisasional
  5. Desakan kultural
  6. Perilaku pemimpin dan pekerja
  7. Pola pikir pemimpin dan pekerja.

 Adapun menurut Sondang P. Siagian (2004: 4-15) faktor-faktor penyebab perubahan adalah sebagai berikut.
  1. Tantangan utama masa depan
  2. Perubahan dalam konfigurasi ketenagakerjaan
  3. Tingkat pendidikan para pekerja
  4. Teknologi
  5. Situasi perekonomian
  6. Berbagai kecenderungan sosial
  7. Faktor geopolitik
  8. Persaingan
  9. Pelestarian lingkungan


C.                 Tantangan Perubahan
Menurut Senge, et. all. dalam Wibowo (2008: 143) terdapat tiga tahap tantangan utama yang akan dihadapi, yaitu:
1.            Tantangan dalam Tahap Prakarsa  Perubahan: perasan tidak mempunyai cukup waktu, tidak ada bantuan Coaching dan dukungan, merasa tidak relevan, konsistensi nilai-nilai perilaku
2.            Tantangan dalam Meneruskan Transformasi: ketakutan kecemasan, penilaian dan pengukuran, true believers and nonbelievers.
3.            Tantangan Tahap Desain dan Berpikir Ulang: pengaturan, penyebaran, strategi dan maksud.

  1. Pendekatan Perubahan

Pendekatan dalam melakukan perubahan dapat diproses dengan cara pulling out atau mencabut cara dan kebiasaan lama atau dapat pula dengan cara putting in atau menempatkan cara dan kebiasaan baru. Pendekatan perubahan sekarang ini yang terjadi dengan cara tersebut dikatakan sebagai creative destruction. Pendekatan perubahan sebaiknya dilakukan dengan creative recombination. Menurut Abraham dalam Wibowo (2008:185) Creative recombination  adalah mencabut apa yang sudah kita miliki dan mengombinasikan kembali dalam bentuk baru dan berhasil.
1. Creative Recombination
 Perubahan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kepusingan , change without pain, apabila dilakukan dengan creative recombination, mengkombinasikan ulang secara kreatif karena bersifat kurang mengganggu. Abrahamson dalam Wibowo (2008: 186) menambahkan tiga hal penting agar perubahan dapat dilakukan tanpa membuat pusing, yaitu sebagai berikut.
a.             Dalam lingkungan sekarang yang penuh perubahan, penting untuk tidak terlalu menggeneralisasi
b.            No pain, no change tidak bisa menjadi standar karena akan dijadikan alasan pemaaf bagi setiap bentuk perubahan yang dikelola dengan buruk.
c.             No pain, no change tidak dapat tetap menjadi standar karena akan menjadi alasan yang siap dilakukan tentng mengapa perubahan sulit dan mengapa banyak perubahan gagal.


3. Five Recombinant
Untuk melakukan perubahan tanpa menimbulkan kepusingan, diperlukan adanya lima faktor yang dikombinasikan atau digabungkan kembali dalam rangka perubahan, yaitu
  1. Orang
  2. Jaringan
  3. Budaya
  4. Proses
  5. Struktur (Abrahamson dalam Wibowo, 2008:186)

4. Cara Mengkombinasi Ulang
Abrahamson dalam Wibowo (2008:187) mengemukakan cara yang dapat dilakukan untuk mengombinasikan kembali kelima faktor perubahan tersebut adalah dengan cloning, customizing, dan translating

E.           Kecepatan Perubahan
Potts dan LaMarsh dalam Wibowo (2008:189) mengemukakan bahwa pada hakikatnya perubahan adalah bergerak dari keadaan sekarang (the current state) menuju pada keadaan baru (the desired state). Orang menerima perubahan pada tingkat yang berbeda. Hidup kita adalah paling efektif dan efisien jika kita bergerak pada kecepatan yang memungkinkan kita menerima dengan tepat perubahan yang kita hadapi (Conner dalam Wibowo, 2008: 190).
Manusia bergerak pada tingkat kecepatan yang bersifat fluktuatif menurut kapasitas unuk menerima pengaruh dan informasi baru. Seberapa baik kita dapat menyerap implikasi perubahan secara dramatis memengaruhi tingkat keberhasilan kita mengelola tantangan yang dihadapi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks meningkatkan tekanan lebih kuat untuk mengelola lebih banyak perubahan pada kecepatan yang meningkat. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap pola perubahan dan prinsip kekenyalan yang perlu dicapai dengan maksud mencapai kecepatan perubahan organisasi  optimal.
F.      Hambatan Perubahan
Peter M. Senge dalam Wibowo (2008:190) mengungkapkan bahwa Drucker mengidentifikasi adanya tiga hambatan untuk melakukan perubahan, yaitu sebagai berikut.
1.      Demografis
Perubahan memerlukan waktu yang relatif panjang, namun banyak manajer sangat tidak sabar mempertimbangkan untuk menunggu perubahan dalam 30-50 tahun. Perkembangan demografis jangka panjang akan memengaruhi arah perubahan organisasi. Permintaan akan kebutuhan menjadi semakin bervariasi dengan perkembangan teknologi, informasi dan cita rasa mereka sebagai konsumen.

2.      Persepsi terhadap Revolusi Informasi
Persepsi orang terhadap perkembangan informasi tersebut sangat beragam . Di satu sisi, di sambut secara positif sebagai mempermudah pekerjaan dan meningkatkan kinerja individu. Di sisi lain, dilihat dengan ketakutan bahwa peranannya akan digantikan oleh teknologi informasi sehingga terbuka peluang untuk kehilangan pekerjaan.

3.      Lingkungan dan Sosial
Pemimpin perubahan harus lebih memerhatikan masalah kelestarian lingkungan dan masalah kesenjangan sosial. Pada hakikatnya, perubahan harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat banyak.



DAFTAR PUSTAKA

Siagian Sondang P. 2004. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara
Wibowo. 2008.  Manajemen Perubahan. Jakarta: Rajawali Pers
www.kompas.com/news/read/data/2009.01.30.15100597


Polri Andalkan Program "Quick Wins"
Jumat, 30 Januari 2009 | 15:10 WIB
JAKARTA, JUMAT — Kepolisian RI (Polri) telah meluncurkan program Quick Wins, yang merupakan program-program unggulan dalam rangka akselerasi untuk mencapai sasaran grand strategis Polri 2005-2009. Program akselerasi ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi Polri yang diharapkan memberikan perubahan dalam aspek kultural.
Dalam launching reformasi birokrasi Polri, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menjelaskan, ada empat program Quick Wins. Keempat program ini adalah quick respond; transparansi pelayanan SIM, STNK, BPKB; transparansi proses penyidikan; dan transparansi rekruitmen personel.
"Kemarin waktu di Sarawak saya sudah mencoba, melihat perkembangan laporan yang masuk ke Polri dan Polda melalui internet. Dan ternyata memang bisa dilihat secara transparan dan cepat," kata Bambang dalam sambutannya.
Dalam launching ini, ditampilkan pula proses pelayanan Quick Wins yang merespons laporan masyarakat yang masuk melalui layanan call centre 112.
Penulis: Inggried Dwi Wedhaswary  





Analisis: Tujuan perubahan menurut Robbins dalam Wibowo (2008:93), tujuan perubahan terencana di satu sisi untuk memperbaiki kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan sisi lain mengupayakan perubahan perilaku karyawan. Dalam hal ini, quick wins merupakan langkah yang tepat untuk diterapkan di kepolisian, disamping  merubah perilaku aparat kepolisian( menciptakan SDM yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja yang tinggi dan sejahtera)  juga dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat pada masyarakat. Adapun quick wins ini menunjang pelaksanaan reformasi birokrasi yang sasaran umumnya adalah terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja serta sistem manajemen pemerintahan. Adapun sasaran secara khusus adalah perubahan kelembagaan atau organisasi menuju organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran, perubahan budaya organisasi untuk mewujudkan birokrasi dengan integritas dan kinerj yang tinggi, perubahan ketatalaksanaan untuk mewujudkan sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif dan efisien, terukur dan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai. Pada dasarnya quick wins merupakan langkah tepat dalam merubah perilaku aparat kepolisian di dalam organisasinya agar dapat memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat.

VIDEO: Arsenal Taklukkan Barcelona

Email Alert - 17 Februari 2011


Dear Reisha Amanda,
Kami sajikan berita terpopuler VIVAnews.com


VIDEO: Arsenal Taklukkan Barcelona
Meski menang, Arsenal belum sepenuhnya aman. Arsenal akan bertemu lagi di leg kedua.
[selengkapnya]

Ahmadiyah: Tak Ada Kekerasan di Era Soeharto
"Biarkanlah kami bebas menganut agama yang kami yakini."
[selengkapnya]

Profesi Wanita Ini: Penjebak Tukang Selingkuh
Bukan pelacur. Wanita ini hanya bertugas menggoda pria untuk menguji kesetiaannya.
[selengkapnya]

Arsenal Taklukkan Barcelona
Pasukan Arsene Wenger tidak patah arang meski sempat tertinggal 1-0.
[selengkapnya]

Status LPI di Mata Menpora dan FIFA
Menpora menilai LPI sesuai dengan Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional.
[selengkapnya]

Gayus: Istilah "Tempat Pelacuran" Berlebihan
Gayus Lumbuun minta dugaan pelanggaran etik saat kunjungan kerja ke Yunani dituntaskan.
[selengkapnya]

Ini Dia Bank Pengucur Kredit Terbesar
BRI menempati urutan pertama penyalur kredit, yakni sebesar Rp241,02 triliun.
[selengkapnya]

Perubahan Iklim Segera Musnahkan Negeri Ini
Dalam 50 tahun, pemanasan global dapat memusnahkan negara kepulauan seperti Kiribati.
[selengkapnya]

MUI Sumbar Minta Pemerintah Larang Islam Moga
Warga telah mendatangi kediaman Ustad Nasir, penyebar ajaran Moga di Kabupaten 50 Kota.
[selengkapnya]

Kapal Perang Iran Mendekat, Israel Siaga
Dua kapal perang Iran akan melakukan latihan setahun penuh di Teluk Aden
[selengkapnya]



Email Alert VIVAnews.com

[detik.com] - Begini Caranya Agar Manfaat Minum Obat Lebih Manjur


Reisha Amanda : Ayoo yg suka minum obat, penting nieeh...!!!

Kamis, 17/02/2011
Begini Caranya Agar Manfaat Minum Obat Lebih Manjur
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

detikcom - Jakarta, Banyak orang mengeluh obat yang diminum tidak manjur. Ternyata ada kuncinya agar manfaat obat tersebut jadi manjur. Bagaimana caranya?

Baca Lebih Detail : http://m.detik.com/read/2011/02/17/113359/1572710/763/begini-caranya-agar-manfaat-minum-obat-lebih-manjur

[detik.com] - Jangan Tinggalkan Sarapan Bila Tak Ingin Botak


Reisha Amanda : Tips buat yg ga pngen botak :D

Selasa, 11/01/2011
Jangan Tinggalkan Sarapan Bila Tak Ingin Botak
Merry Wahyuningsih - detikHealth

detikcom - Jakarta, Berbagai cara dilakukan orang untuk mencegah kerontokan rambut dan kebotakan. Tapi para ahli merekomendasikan beberapa cara sederhana bila Anda tak ingin botak, yaitu makan kacang dan jangan tinggalkan sarapan.

Baca Lebih Detail : http://m.detik.com/read/2011/01/11/103838/1543788/766/jangan-tinggalkan-sarapan-bila-tak-ingin-botak

Satgas Belum Tahu Jumlah Total Kekayaan Gayus


Manda Aryan Sari Manda (nda_imu3t@yahoo.com) telah mengirim artikel Yahoo! Indonesia Berita ke Anda
------------------------------------------------------------
Pesan pribadi:Satgas Belum Tahu Jumlah Total Kekayaan Gayus
http://id.news.yahoo.com/antr/20110216/tpl-satgas-belum-tahu-jumlah-total-kekay-cc08abe.html
============================================================
Yahoo! Indonesia News - http://id.news.yahoo.com/

[From :Reisha Amanda]


Reisha Amanda Mengirimkan Anda berita TEMPOinteraktif.com -------
Catatan dari Reisha Amanda
-------
Untuk melihat berita ini, silahkan klik di http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/06/21/brk,20100621-256954,id.html

Ahli: Dasar Pembentukan Satgas Anti-Mafia Hukum Kuat
Senin | 21/Juni/2010
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio, mengkritik gugatan uji materi yang diajukan aktivis Petisi 28 atas Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

KEPEMIMPINAN PELAYAN


KEPEMIMPINAN PELAYAN
Definisi kepemimpinan pelayanan
Kata pelayan dan pemimpin sering dianggap sesuatu yang berlawanan, bila digabung, maka lahir konsep kepemimpinan pelayan memberi kerangka kerja yang memampukan banyak individu untuk dapat memberi bantuan dalam memperbaiki cara memperlakukan pihak lain yang bekerja diberbagai organisasi. Kepemimpinan pelayan memberi harapan dan bimbingan demi terciptanya pengembangan manusia di era baru ini. hubungan antara pencapaian makna hidup dengan kepemimpinan pelayan adalah pada perilaku pemimpin pada pengikut atau pada organisasi  
Ada beberapa pengertian kepemimpinan pelayan, menurut beberapa tokoh administrasi Negara, anata lain :
Menurut Robert Greenleaf, 1970: kepemimpinan pelayan merupakan model kepemimpinan yang memperioritaskan pelayanan kepada pihak lain, baik kepada pegawai (anggota) organisasi, pelangan, maupun masyarakat. Kepemimpinan pelayan ditandai dengan meningkatnya keinginan melayani pihak lain dengan melakukan pendekatan menyeluruh pada pekerjaan, komunitas, dan proses pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak. Esesiensi dari model ini adalah melayani orang lain, yaitu pelayanan kepada pegawai, pelanggan, dan masyarakat sebagai perioritas utama. (Sedarmayanti. 2009. Hal, 202).
Sedangkan didalam buku Servant Ledership, kepemimpinan pelayan berawal dari perasaan yang tulus yang timbul dari hati, berkehedak melayani, yaitu menjadi pihak pertama yang melayani. Pilihan bersal dari suara hati, kemudian menghadirkan hasrat ingin menjadi pemimpinperbedaan pelayanan yang diberikan adalah memastikan kebutuhan pihak lain dapat dipenuhi, yaitu menjadikan mereka sebagai orang yang labih dewasa, sehat, bebas, dan otonom, akhirnya menjadi pemimpin berikutnya.
Menurut Hector Ruiz, tugas pemimpin adalah melayani, pemimpin terbaik adalah pelayan terbaik, kepemimpinan merupakan pendekatan baru. Kepemimpinan pelayan adalah model kepemimpinan yang mencoba secara simultan meningkatkan pertumbuhan personal pegawai dan memperbaiki kualitas pelayanan organisasi melalui kombinasi kerja sama tim dan pengembangan komunitas, keterlibatan personal dalam proses pembuatan keputusan, serta perilaku peduli dan etis. (Sedarmayanti. 2009. Hal, 202).
Menurut Spears, 1995, karakteristik yang membedakan kepemimpinan pelayan dengan kepemimpinan yang lain adalah keinginan untuk melayani hadir sebelum adanya keinginan untuk memipin. (Sedarmayanti. 2009.203).
Konsep kepemimpinan pelayan adalah konsep yang mengubah pendekatan kepemimpinan secara revolusioner dan pribadi, konsep ini bukan perbaikan serba cepat atas dasar persoalan yang dihadapi pemimpin. Kepemimpinan pelayan mengguanakan pendekatan mendasar dan bersifat jangka panjang. Tujuan utama kepemimpinan pelayan  adalah melayani dan memenuhi kebutuhan pihak lain, yang secara optimal seharusnya menjadi motivasi utama kepemimpinan. (Sedarmayanti. 2009. Hal 203).
Model Perilaku dan Fokus Utama Pemimpin Pelayan
Pengembangan pegawai
Tindakan pemimpin secara aktif dan terus-menerus mengembangkan pegawai/ anggota organisasi akan menciptakan kepuasan kerja dan meningkatkatnya kemitmen organisasi, selain membuat visi bersama dan deskripsi pekerjaan berbasis pekerjaannya secara signifikan
Penciptaan Nilai Tambah bagi Pelanggan
Pegawai yang tingkat kepuasan dan komitmennya tinggi terhadap pekerjaan dan organisasi serta memiliki performansi kerja baik, otomatis terus berusaha melayani pelanggan dengan segenap hati.
Terciptanya Kepuasan Pelanggan
Nilai tambah yang diberikan organisasi melalui pegawai kepada pelanggan membuat pelanggan puas akan produk/ jasa yang mereka beli. Kepuasan yang dihasilkan dan tercipta dalam berbagai kesempatan akan membuat pegawai loyal dank omit pada organisasi.
Keberhasilan Organisasi Berkesinambungan
Proses keberhasilan untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan organisasi akan terjadi terus-menerus, dan diperkuat, sehingga mengakibatkan keberhasilan abadi. (Sedarmayanti. 2009. Hal. 204).
Karakteristik Pemimpin Pelayan
Menurut Larry Spears, 1995, antara lain :
Mendengarkan 
Empati
Menyembuhkan
Kesadaran diri
Persuasif
Konseptualisasi
Kemampuan melihat masa depan (memiliki visi)
Kemapuan melayani
Kemitmen pada pertumbuhan individu
Membangun komunitas (Sedarmayanti. 2009. Hal. 206-207).
Menurut Jim Laub, 1999, antara lain :
Menghargai orang lain
Mengembangkan orang lain
Mengambangkan komunitas
Memperlihatkan autensitas
Memberikan kepemimpinan
Berbagi kepemimpinan (Sedarmayanti. 2009. Hal. 207-208).


Model dan Karakteristik Pemimpin Pelayan Menurut Kathlen Patterson, 2003
Cinta kasih
Pemimpin melakukan sesuatu yang baik dengan alasan benar pada saat tepat
Rendah ahti
Kemampuan menjaga keseimbangan anatara kemapuana yang dimiliki dan kesadaran bahwa apa yang telah dicapai pemimpin dapat terjadi karena kemampuan dan sumbangsih pengikut, bukan karena diri sendiri
Altruisme
Tindakan membantu orang lain secara tulus
Memiliki visi
Pemimpin membangun visi organisasi melalui visi pengikut secara agregasi
Rasa percaya
Pengikut percaya bahwa bekerja di organisasi dengan pemimpin pelayan akan mengarah pada tercapainya visi pengikut.
Memberdayakan pihak lain
Mempercayakan kekuasaan kepada pihak lain, kemudian menyatakannya. Membuat setiap pengikut merasa berarti, penting dalam organisasi dan pekerjaannya, menekankan pada kerja sama tim, menghargai kasih dan persamaan
Melayani
Pelayanan harus menjadi fungsi utama kepemimpinan, bukan berdasar kepentingan diri tetapi lebih pada kepentingan orang lain. (Sedarmayanti. 2009. Hal. 208-209).


Ukuran Keberhasilan Pemimpin Pelayan dan Proses Pembentukan Pemimpin Pelayan
Ukuran keberhasilan pemimpin pelayan
dalam budaya timur pemimpin dinilai berhasil bila mencapai tingkat kearifan dan wibawa tinggi ditengan masyarakat. Dalam budaya barat, pemimpin dinilai berhasil berdasarkan prestasi dan sumbangsihnya kepada masyarakat. Secara umum wibawa yang dimiliki pemimpin atau prestasinya tidak akan berumur lama bila tidak secara sengaja menyiapkan pemimpin baru. Pemimpin yang matang menyadari bahwa pola/ gaya dan paradigmanya baik untuk masa di mana ia melayani. Di masa mendatang, corak lingkungan kerja, dinamika organisasi dari komunitasnya akan berbeda sehingga diperlukan pendekatan, pola,dan praktik kepemimpinan. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang memiliki kesadaran hidup komunitas yang dipimpinnya, pemimpin sejati lebih mengutamakan kesejahteraan orang lain dari pada kenikmatan dan martabatnya sendiri. (Sedarmayanti. 2009. Hal. 210).


Proses pembentukan pemimpin pelayan
Pemimpin dapat dibentuk/ diciptakan melalui berbagai pelatihan dan pengalaman dalam waktu tertentu. Pemimpin bukan seorang yang dilahirkan untuk itu, tetapi diperlukan kerja keras dan lingkungan yang tepat untuk dapat belajar, tumbuh menjadi pemimpin yang efektif. (Sedarmayanti. 2009. Hal. 210).


Faktor Utama Pemimpin Dipercaya Menjadi Pemimpin Pelayan menurut Robby Chnadra
Telah menampilkan pengabdian
Memiliki keunggulan
Handal dalam menggali makna hidup/ makna keberadaan komunitas/ organisasi, (Sedarmayanti. 2009. Hal. 213).


Hambatan dalam Praktik Kepemimpinan Pelayan dalam Organisasi menurut Barry Foster, 2000
Rasa tidak percaya dan ekspektasi yang tidak realistis 
Konflik terhdap kepepemimpinan yang ada sebelumnya 
Tidak ada atau lemahnya kerja tim 
Konflik terhdap keinginan untuk  melayani diri sendiri dan sistem penghargaan yang ada 
Proses komunikasi dan kolaborasi yang tidak efektif 
Proses pembelajaran n pengembangan tidak berjalan baik, (Sedarmayanti. 2009. Hal. 213).


Praktik Kepemimpinan Pelayan Terkait Strategi Usaha dan Kebijakan
Alokasi keuntungan bersih
Porsi lebih besar diberikan untuk pengembangan anggota organisasi (kesejahteraan/ bonus, pelatihan, tunjangan, kesehatan, dan lain-lain.
Pelatihan diberikan untuk pengembangan anggota, seperti : peningkatan keterampilan, profesionalisme, emosional dan spiritual
Sisa keuntungan untuk pengembangan organisasi dan pemegang saham, sosial kemasyarakatan, besar nilai yang diberikan pihak tergantung situasi dan rencana strategic organisasi


Manajemen kinerja
Sepanjang periode (tahun) berusaha mengembangkan pengikut, bukan hanya pada evaluasi di akhir periode. Akhir periode untuk evaluasi menyeluruh dan pengembangan lebih lanjut
Kompensasi
Memegang asas “tumbuh bersama”. Besarnya perkembangan oragnisasi. Pendirian organisasi masih rendah, dengan pertumbuhan organisasi akan semakin besar, sifatnya bisa tidak linier. Berbagai bonus, tunjangan, dan alokasisaham organisasi ditawarkan dan diberikan pada anggota secara murah hati
Rekruitmen
Lebih mencari karakteristik yang melekat, seperti : etos kerja dan standar etika tinggi, memiliki integritas dan mau melayani orang lain. Hal ini sulit dirubah dan dipelajari. Pengalaman dan pengetahuan menjadi perioritas kedua, karena dapat dan diberikan organisasi dalam berbagai bentuk pelatihan, bimbingan, dan promosi
Jenjang karier/ promosi
Mengembangkan kebijakan untuk terus menumbuhkembangkan anggota organisasi, setiap posisi lowong diusahakan diisi dahulu oleh anggota internal. Promosi ditekankan pada promosi internal. Berusaha “mengarahkan” anggota agar mencapai tahapan manusia dewasa seutuhnya
Orang luar akan dilibatkan hanya jika anggota organisasi tidak memiliki kemampuan/ talenta yang diperlukan mengisi posisi, (Sedarmayanti. 2009. Hal. 216-217).
 
Contoh Kepemimpinan Pelayan “Kesuksesan Kabupaten Jembrana”
Anda keliru bila menganggap Kabupaten Jembrana memiliki banyak modal sehingga mampu memberlakukan KTP semacam smart card dan berencana menyelenggarakan pemilu berteknologi touch screen. Sebab, sebelumnya, Jembrana memiliki dana yang sangat terbatas dan tergolong kabupaten miskin di Bali. Meski demikian, hal tersebut justru memicu pemerintah setempat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Adalah Bupati Jembrana, I Gede Winasa, yang menjadi tokoh di balik besarnya nama Kabupaten Jembrana saat ini. Bekal pengalaman menimba ilmu di Universitas Hiroshima dan Universitas Tokushim (Jepang) mampu ia manfaatkan bagi Kabupaten Jembrana, terlebih sejak ia didapuk menjadi bupati pada tahun 2000. Salah-satu hal yang bisa ia tiru dari Negeri Sakura adalah implementasi teknologi informasi bagi semua sektor.


 Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Winasa pun bisa dibilang sangat “pro rakyat”. Ia melibatkan sumber daya manusia yang seluruhnya berasal dari Jembrana untuk bersama-sama mewujudkan ide pembangunan teknologi digital. Ia menerapkan apa yang dinamakan manajemen "DOA", yaitu manajemen atas Dana, Orang, dan Aset. Dan yang menjadi pilar-pilar kokohnya adalah ketegasan dan ketelitian.
Bahkan, saat baru saja menjabat sebagai bupati, Winasa membentuk dewan antikorupsi sendiri. Para pejabat yang ketahuan gemar menyedot uang negara segara diperiksa, ditindak, diadili, dan dipecat. Bahkan guru-guru yang mencari uang tambahan dari murid pun bisa dipastikan terkena tindakan. Semua itu dilakukannya dengan berbekal filosofi bahwa "yang sakit diobati, yang rusak dicabut". Tak mengherankan bila banyak terdapat baliho bertulisan ”Anda Memasuki Kawasan Bebas Pungli” yang terpasang di tiap pintu gerbang masuk halaman Pemkab Jembrana.
Pembangunan teknologi digital di Kabupaten Jembrana memang telah menghabiskan biaya yang sangat besar. Dan ini barangkali menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita, bagaimana mungkin Kabupaten Jembrana yang angka APBD-nya relatif kecil bisa membangun infrastruktur jaringan yang begitu besar, sementara banyak daerah lain yang angka APBD jauh lebih besar belum bisa membangun e-government dengan baik. Semua itu karena manajemen keuangan di Kabupaten Jembrana untuk pembangunan ICT dikelola secara baik dengan menggunakan strategi pembiayaan gotong royong.
Berkat penerapan teknologi digital secara optimal, pada tahun 2006 lalu, Kabupaten Jembrana berhasil meraih piala Citra Bhakti Abdi Negara, Piala Citra Pelayanan Prima, dan Piagam Penghargaan Citra Pelopor Inovasi Pelayanan Prima. Selain itu, juga berkat keseriusan menerapkan teknologi, Pemkab Jembrana menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang mampu mengolah air laut menjadi air minum tawar beroksigen.
Atas semua keberhasilan itu, hingga kini Winasa kerap dikunjungi para tamu dari berbagai instansi pemerintahan lainnya di seluruh Indonesia. Bahkan selama 2008, ia harus menerima tak kurang dari 500 tamu yang datang dari berbagai tingkatan, misalnya menteri, gubernur, kolega sesama bupati atau wali kota, dan kepala-kepala dinas yang ingin melakukan sudi banding.
Pengalaman Kabupaten Jembrana menunjukkan bahwa political will, terutama dari pemimpin daerah, adalah faktor penentu keberhasilan sebuah program kerja. Sepanjang sang pemimpin memiliki keberpihakan kepada rakyat dan memiliki pemikiran yang terbuka terhadap perkembangan teknologi, segala kelemahan atau keterbatasan pasti bisa diatasi. (Sumber : Harian Kompas, Frans Sarong, 07 Mei 2010).



BIROKRASI DALAM OTONOMI DAERAH: Upaya Mengatasi Kega

MANDA ARYAN SARI

0816041005




Birokrasi menurut Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2002dijalankan adalah: “system yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat”. Birokrasi harus ada di dalam suatu Negara dan para birokratnya diangkat atau ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan secara professional. Para birokrat dibayar untuk menjalankan system pemerintahan suatu Negara. Ciri seorang professional, ia tidak boleh memihak atau dengan kata lain, ia harus netral.  Guy Benveniste dalam bukunya berjudul Birokrasi (1989) mengartikan birokrasi identik dengan “administrasi”. Dalam bukunya Ia berbicara tentang masalah-masalah organisasi dan manajemen sebagai aspek-aspek administrasi. Konsep John Stuart Mill tentang birokrasi menegaskan bahwa diluar bentuk perwakilan, hanya birokrasilah yang memiliki keterampilan dan kemampuan politik yang tinggi. Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang yang memerintah secara professional merupakan esensi dari birokrasi. Pemerintahan seperti itu hanya dapat dicapai melalui suatu pengalaman, pelatihan dan tata krama yang baik, dengan mengaplikasikan pengetahuan praktis yang tepat dan etos kerja yang tinggi.
Sejauh ini ada lima ciri fungsi birokrasi yaitu:
·   Memenuhi tatanan internal organisasi dan keamanan eksternal organisasi;
·   Menjamin keadilan di lingkungan masyarakat;
·      Melindungi kebebasan individu berdasarkan peraturan dan norma adat istiadat yang berlaku di   masyarakat;
·   Mengatur tindakan individu agar individu tidak menjadi liar;
·   Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Birokrasi di Indonesia lebih condong berasal dari konsep birokrasi continental. Dilihat dari perspektif perbandingan yang luas, semua Negara Eropa memiliki tipe yang sama yaitu: diperintah oleh pejabat. Pejabat selalu diidentikan dengan birokrat atau pemerintah. Tidaklah mengherankan para pengamat birokrasi di Indonesia mengartikan birokrasi sebagai: segala aspek yang terkait dalam pengkridaan wewenang, tugas atau tanggung jawab pemerintah melalui pejabat atau pegawainya (Sujamto:1992).
Dalam perkembangannya orang selalu tidak lepas dari pemikiran bahwa baik buruknya birokrasi identik dengan baik buruknya pemerintah, atau kebobrokan  birokrasi adalah kebobrokan pemerintah. Biasanya kebobrokan birokrasi ini bersumber dari mental para birokrat yang menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pemborosan waktu. Hal ini antara lain disebabkan oleh etika birokrat yang sangat rendah dan mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum atau masyarakat yang dilayaninya. Pada saat seperti itu yang selalu disalahkan adalah peraturan perundang-undangan sebagai aturan main dan system yang berlaku. Banyaknya peraturan yang harus dilewati sehingga memakan waktu. Ketidakjelasan peraturan membuat birokrasi sulit mengembangkan prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi organisasi, dalam hal ini organisasi pemerintahan. Sementara itu, sering juga para birokrat memanfaatkan keberadaan birokrasi untuk kepentingan pribadinya dengan cara melakukan penyimpangan terhadap prosedur dengan mengkomersialisasi jabatannya.

Konsep Birokrasi Ideal
Max Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisai social. Dengan sendirinya hal ini memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber tentang birokrasi terletak pada penelasan ketika Ia mendiskusikan tipe rasional yang murni (Martin Albrow, 1989:32).

 Karya Max Weber itu sekarang dikenal sebagai konsep birokrasi ideal. Menurut Weber yang secara singkat disebutkan dalam bukunya Miftah Thoha menyatakan birokrasi yang ideal yang rasional yaitu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya.
2.    Jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping.
3.    Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
4.    Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
5.    Setiap Pejabat diseleksiatas dasar kualifikasi professionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6.    Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkat hierarki jabatan yang disandangnya.
7.    Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan objektif.
8.    Setiap pejabat tidk dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9.    Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu system yang dijalankan secara disiplin.

Secara garis besar, konsep birokrasi ideal tersebut didukung oleh Michael Parenti dalam buku Riyaas Rasyid, yang menyimpulkan karakteristik birokrasi secara garis besar adalah
ü             Mobilisasi yang sistematik dari energi manusia dan sumberdaya material untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang secara eksplisit telah didefinisikan.
ü             Pemanfaatan tenaga-tenaga karir yang telah terlati, yang menduduki jabatan-jabatan bukan atas dasar keturunan, dan yang batas-batas yuridiksinya telah ditetapkan secara spesifik.
ü             Spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggung jawab kepada suatu otoritas atau konstituensi.
Birokrasi dan Regulasi
Birokrasi sangat diperlukan oleh setiap Negara. Pentingnya peranan pejabat yakni sebagai pelaku pejabat dalam penyelenggaraan tugas-tugas Negara. Pada hakikatnya adalah organisasi jabatan-jabatan, dan pemerintahan sebagai subsistem dari Negara juga merupakan organisasi jabatan-jabatan, dimana masing-masing mengemban fungsi-fungsi tertentu yang hakikatnya merupakan pecahan-pecahan dari tugas pokok pemerintah atau Negara.

Untuk melaksanakan semua tugas pokoknya itu, pemerintah membuat aturan-aturan (regulasi) demi ketertiban dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan seluruh anggota-anggota masyarakat yang dilayani, sehingga semuanya berjalan dengan lancer. Karenanya, lahirlah birokrasi bersama-sama dengan regulasi. Keduanya merupakan “nyawa” pemerintah pada khususnya dan organisasi pada umumnya yang harus ada.

Jadi, birokrasi dan regulasi memang harus selalu ada selama pemerintah ada. Upaya debiirokratisasidan deregulasi (yang biasanya digunakan untuk mengatasi semua hambatan pencapaian tujuan pokok pemerintah), merupakan upaya modulasi untuk mengoptimalkan jalannya birokrasi. Seni menjalankan pemerintahan adalah menjaga agar semua itu berada dalam kadar yang optimal. Birokrasi dan regulasi diperlukan untuk menjaga ketertiban, kebenaran, keamanan, dan kepatuhan terhadap standar. Tetapi birokrasi dan regulasi selalu membawa konsekuensi kelambanan proses dengan segala dampaknya yang negative. Memadukan kepentingan akan ketertiban, keamanan, dan kebenaran disatu pihak dengan kepentingan kelancaran dan kecepatan proses di lain pihak, itu merupakan seni menjalankan pemerintahan. Tetapi berdasarkan pengalaman, seni tersebut  harus selalu dibarengi dengan kualitas intelektual dan keterampilan para penyelenggaraan pemerintahan serta manajemen yang baik.




Perkembangan Birokrasi di Indonesia
Perkembangan birokrasi yang pada intinya dilaksanakan oleh para birokrat atau pegawai negeri di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan pengalaman negara sedang berkembang lain yang mendapat kemerdekaannya setelah Perang Dunia II. Di Indonesia ketentuan- ketentuan universal tentang pejabat negara juga tampak di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) pejabat negara adalah
1.        Presiden dan Wakil Presiden
2.        Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
3.        Mahkamah Agung (MA)
4.        Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
5.        Menteri- menteri
6.        Duta dan Konsul
7.        Gubernur, Bupati/ Walikota
8.        Jabatan-jabatan lain.

Di Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang terdapat empat tujuan, tugas dan kewajiban utama pemerintah dapat kita lihat jelas dalam isi Pembukaan UUD 1945, yaitu:
1.        Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.        Memajukan kesejahteraan umum;
3.        Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kecuali tugas keempat yang menyangkut politik luar negeri, maka ketiga tugas lainnya itu semuanya mengacu kepada kepentinganmasyarakat yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan kata lain tugas pokok pemerintah adalah melakukan pelayanan untuk masyarakat dan  melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pula. Dengan perkembangan seperti itu, semangat kepegawaian di Indonesia dapat sama dengan perkembangan kepegawaian di AS, yaitu merupakan sarana keikutsertaan rakyat di dalam kegiatan pemerintahan dan kehidupan bernegara.
Tantangan Masa Transisi
Dalam era otonomi daerah, tantangan yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah Indonesia cukup berat. Masa transisi dapat diartikan dalam dua hal. Yang pertama, adalah masa peralihan dari suatu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Peralihan kekuasaan yang terjadi dapat berlangsung secara normal atau tidak normal. Normal artinya peralihan terjadi setelah dilaksanaknnya pemilihan umum. Sedangkan yang tidak normal, misalnya karena perebutan kekuasaan atau revolusi. Yang kedua, adalah mengacu pada masyarakat yang sedang berada pada suatu tahapan perubahan dari kehidupan politik yang semula bersifat otoriter atau diktator beralih pada tatanan politik yang lebih demokratik atau sebaliknya. Kedua bentuk transisi ini sedang berlangsung secara bersamaan.

Peran yang diambil oleh birokrasi terutama dalam masa transisi, khususnya yang terkait dengan pergantian pemerintahan, tergantung pada factor penyebab pergantian tersebut. Jika pergantian kekuasaan terjadi secara normal, artinya pemerintahan baru muncul sebagai hasil pemilihan umum, maka biasanya eksekutif akan cenderung memilih birokrat berdasarkan system merit yang diperlukan untuk mendukung pemerintahannya. Birokrat yang diangkat itu kemudian mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah baru, mengikuti standar, peraturan dan prosedur yang berlaku serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks itu, netralitas birokrasi diartikan sebagai penyeragaman perilaku birokrasi yang mekanistik, yaitu birokrasi akan melakukan hal yang sama terhadap pemerintah yang akan datang. Diikut sertakannya birokrat dalam pengambilan keputusandan tidak hanya dalam pelaksanaan, lambat laun memperkuat kedudukan birokrasi.

Ada masalah birokrasi yang ditemukan di beberapa daerah:
v   Pertama, didalam aspek kelembagaan akan terjadiakan terjadi penyempitan struktur kelembagaan dari 19 dinas menjadi 10 dinas( suatu contoh di daerah), ini akan menimbulkan beberapa jabatan hilang dan akan dirasakan oleh PNS di lingkungan pemerintah daerah. Tetapi memang di sisi lain, akan terjadi efisiensi anggaran.
v   Kedua, belum melembaganya karakteristik good governance di dalam pemerintah daerah, baik dari segi kultur dan struktur serta nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan kaidah good governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik.
v   Ketiga, yang muncul di bidang kelembagaan, terutama yang ditemukan pada Pemda di Bali, yaitu dilemma terhadap penciutan (likuidasi)  lembaga-lembaga daerah. Sebagaimana diketahui, pelaksanakan otonomi sangat dipengaruhi empat faktor, yaitu pendanaan, personil, peralatan dan pengelolaan.
v   Keempat, keberlanjutan pembangunan daerah memerlukan institusi lokal yang mampu dan berdaya dalam menghadapi tantangan dan perubahannya. Namun saat ini ada upaya-upaya untuk membentuk institusi baru, tapi tidak memperhatikan keberadaan institusi-istitusi lama yang mungkin jika ditimgkatkan dan diberdayakan dapat menjalankan peran baru dan menjawab berbagai tantangan baru. Institusi-institusi itu harus mampu mewadahi semua aspek : sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
v   Kelima, restrukturisasi kelembagaan akan mengakibatkan pengangguran terselubung atau dipensiunkan/ pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, banyak daerah akan menerima beban permasalahan sosial dan ekonomi yang bertambah berat.
v   Keenam,  permasalahan professionalismenya tidak jalan, sehingga berpengaruh kepada kelembagaan. Dinamika  masyarakat sangat cepat dengan bidang masalah yang semakin multidimensional menuntut. Pemda menangani permasalahan daerah secara tepat dan professional. Di samping itu masih sering terjadi penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan keahlian.
v   Ketujuh, Meningkatnya kecenderungan untuk merekrut dan mempromosikan pegawai yang merupakan putra asli daerah. Tampaknya penerimaan pegawai tidak didahului dengan analisis kebutuhan yang rasional, tetapi lebih pada pertimbangan emosional  dan euphoria reformasi yang masih banyak dirasakna di daerah-daerah. Di samping itu juga diitemukan juga adanya beberapa pejabat birokrasi daerah yang terlibat KKN, birokrasi yang lamban, tidak responsive, tidak transparan dan sebagainya.

Pada masa transisi sekarang ini masih ditemukan beberapa kelemahan birokrasi pemerintah di daerah:
ü        Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-masing pemdahanya sekedar menampung personel dalam suatu jawaban structural;
ü        Partisipasi masyarakat masih rendah;
ü        Transparansi belum berjalan;
ü        Mekanisme kerja dan tugas yang tumpang tindih akan menyulitkan kalangan internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemda;
ü        Politisasi PNS tetap menggejala;
ü        Sistem karir yang tidak jelas  membuat persaingan tidak sehat;
ü        Belum siapnya aparatur birokrasi terhadap tuntutan perubahan.

Gejala Kegagalan Birokrasi
Gejala- gejala kemandegan atau kebangkrutan (discontinuity) birokrasi negara dapat mempengaruhi laju kemajuan Negara yang bersangkutan. Salah satu sebab menggejalanya korupsi di dalam tubuh birokrasi. Masalah korupsi dan semua yang terkait di dalamnya dan sampai sekarang belum terpecahkan disinggung oleh Prof. Sondang P. Siagian, MPA. Dalam bukunya yang berjudul Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi  dan Terapinya (1994). Ia menjelaskan secara panjang lebar dengan analogi suatu penyakit tentang patologi birokrasi, yang salah satunya adalah korupsi. Agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi  bebagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural danb teknologikal, dari berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan pengobatannya yang paling efektif. Sebaliknya, tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.

Patologi birokrasi dapat dikategorikan pada lima kelompok, yaitu:
1.        Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya managerial para pejabat di lingkungan birokrasi;
2.        Patologi yang disebabkan oleh kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3.        Patologi yang timbul   karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.        Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokratyang  bersifat disfungsional atau negative;
5.        Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam bebagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.

Beberapa masalah yang ditemukan dari analisis patologi tersebut, yaitu:
a.          Persepsi, perilaku dan gaya birokrasi;
b.        Kurangnya pengetahuan dan keterampilan;
c.         Pelangaran norma-norma hukum;
d.        Lingkungan internal birokrasi;

Tata Pemerintahan yang Baik
Tata pemerintahan yang baik atau good governance dewasa ini menjadi acuan untuk perbaikan birokrasi sesuai tuntutan reformasi. Miftah Thoha menyatakan, tata pemerintahan yang baik itu merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen public, konsep itu dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi public atau ilmu pemerintahan menekankan       kepada peranan manajer public agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong, meningkatkan otonomi manajerial, terutama mengurangi campur tangan control yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas public, dan diciptakan pengelolaan manejerial yang bersih bebas dari KKN.

UNDP merumuskan good governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP:1997). Istilah governance menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan kesejahteraan rakyatnya. Jelas bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata pemerintahannya, dimana pemerintah melakukan interaksi dengan pihak swasta dan masyarakat madani. Oleh karena itu, tiga unsure penting yang saling memengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan adalah negara, masyarakat, dan sektor swasta yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi  daerah.

Ada sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, yaitu:
·           Partisipasi
·           Penegakan hukum
·           Transparansi
·           Kesetaraan
·           Daya tanggap
·           Wawasan ke depan
·           Akuntabilitas
·           Pengawasan
·           Efisiensi dan efektivitas
·           Profesionalisme