Rabu

BIROKRASI DALAM OTONOMI DAERAH: Upaya Mengatasi Kega

MANDA ARYAN SARI

0816041005




Birokrasi menurut Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2002dijalankan adalah: “system yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat”. Birokrasi harus ada di dalam suatu Negara dan para birokratnya diangkat atau ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan secara professional. Para birokrat dibayar untuk menjalankan system pemerintahan suatu Negara. Ciri seorang professional, ia tidak boleh memihak atau dengan kata lain, ia harus netral.  Guy Benveniste dalam bukunya berjudul Birokrasi (1989) mengartikan birokrasi identik dengan “administrasi”. Dalam bukunya Ia berbicara tentang masalah-masalah organisasi dan manajemen sebagai aspek-aspek administrasi. Konsep John Stuart Mill tentang birokrasi menegaskan bahwa diluar bentuk perwakilan, hanya birokrasilah yang memiliki keterampilan dan kemampuan politik yang tinggi. Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang yang memerintah secara professional merupakan esensi dari birokrasi. Pemerintahan seperti itu hanya dapat dicapai melalui suatu pengalaman, pelatihan dan tata krama yang baik, dengan mengaplikasikan pengetahuan praktis yang tepat dan etos kerja yang tinggi.
Sejauh ini ada lima ciri fungsi birokrasi yaitu:
·   Memenuhi tatanan internal organisasi dan keamanan eksternal organisasi;
·   Menjamin keadilan di lingkungan masyarakat;
·      Melindungi kebebasan individu berdasarkan peraturan dan norma adat istiadat yang berlaku di   masyarakat;
·   Mengatur tindakan individu agar individu tidak menjadi liar;
·   Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Birokrasi di Indonesia lebih condong berasal dari konsep birokrasi continental. Dilihat dari perspektif perbandingan yang luas, semua Negara Eropa memiliki tipe yang sama yaitu: diperintah oleh pejabat. Pejabat selalu diidentikan dengan birokrat atau pemerintah. Tidaklah mengherankan para pengamat birokrasi di Indonesia mengartikan birokrasi sebagai: segala aspek yang terkait dalam pengkridaan wewenang, tugas atau tanggung jawab pemerintah melalui pejabat atau pegawainya (Sujamto:1992).
Dalam perkembangannya orang selalu tidak lepas dari pemikiran bahwa baik buruknya birokrasi identik dengan baik buruknya pemerintah, atau kebobrokan  birokrasi adalah kebobrokan pemerintah. Biasanya kebobrokan birokrasi ini bersumber dari mental para birokrat yang menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pemborosan waktu. Hal ini antara lain disebabkan oleh etika birokrat yang sangat rendah dan mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum atau masyarakat yang dilayaninya. Pada saat seperti itu yang selalu disalahkan adalah peraturan perundang-undangan sebagai aturan main dan system yang berlaku. Banyaknya peraturan yang harus dilewati sehingga memakan waktu. Ketidakjelasan peraturan membuat birokrasi sulit mengembangkan prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi organisasi, dalam hal ini organisasi pemerintahan. Sementara itu, sering juga para birokrat memanfaatkan keberadaan birokrasi untuk kepentingan pribadinya dengan cara melakukan penyimpangan terhadap prosedur dengan mengkomersialisasi jabatannya.

Konsep Birokrasi Ideal
Max Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisai social. Dengan sendirinya hal ini memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber tentang birokrasi terletak pada penelasan ketika Ia mendiskusikan tipe rasional yang murni (Martin Albrow, 1989:32).

 Karya Max Weber itu sekarang dikenal sebagai konsep birokrasi ideal. Menurut Weber yang secara singkat disebutkan dalam bukunya Miftah Thoha menyatakan birokrasi yang ideal yang rasional yaitu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya.
2.    Jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping.
3.    Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
4.    Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
5.    Setiap Pejabat diseleksiatas dasar kualifikasi professionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6.    Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkat hierarki jabatan yang disandangnya.
7.    Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan objektif.
8.    Setiap pejabat tidk dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9.    Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu system yang dijalankan secara disiplin.

Secara garis besar, konsep birokrasi ideal tersebut didukung oleh Michael Parenti dalam buku Riyaas Rasyid, yang menyimpulkan karakteristik birokrasi secara garis besar adalah
ü             Mobilisasi yang sistematik dari energi manusia dan sumberdaya material untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang secara eksplisit telah didefinisikan.
ü             Pemanfaatan tenaga-tenaga karir yang telah terlati, yang menduduki jabatan-jabatan bukan atas dasar keturunan, dan yang batas-batas yuridiksinya telah ditetapkan secara spesifik.
ü             Spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggung jawab kepada suatu otoritas atau konstituensi.
Birokrasi dan Regulasi
Birokrasi sangat diperlukan oleh setiap Negara. Pentingnya peranan pejabat yakni sebagai pelaku pejabat dalam penyelenggaraan tugas-tugas Negara. Pada hakikatnya adalah organisasi jabatan-jabatan, dan pemerintahan sebagai subsistem dari Negara juga merupakan organisasi jabatan-jabatan, dimana masing-masing mengemban fungsi-fungsi tertentu yang hakikatnya merupakan pecahan-pecahan dari tugas pokok pemerintah atau Negara.

Untuk melaksanakan semua tugas pokoknya itu, pemerintah membuat aturan-aturan (regulasi) demi ketertiban dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan seluruh anggota-anggota masyarakat yang dilayani, sehingga semuanya berjalan dengan lancer. Karenanya, lahirlah birokrasi bersama-sama dengan regulasi. Keduanya merupakan “nyawa” pemerintah pada khususnya dan organisasi pada umumnya yang harus ada.

Jadi, birokrasi dan regulasi memang harus selalu ada selama pemerintah ada. Upaya debiirokratisasidan deregulasi (yang biasanya digunakan untuk mengatasi semua hambatan pencapaian tujuan pokok pemerintah), merupakan upaya modulasi untuk mengoptimalkan jalannya birokrasi. Seni menjalankan pemerintahan adalah menjaga agar semua itu berada dalam kadar yang optimal. Birokrasi dan regulasi diperlukan untuk menjaga ketertiban, kebenaran, keamanan, dan kepatuhan terhadap standar. Tetapi birokrasi dan regulasi selalu membawa konsekuensi kelambanan proses dengan segala dampaknya yang negative. Memadukan kepentingan akan ketertiban, keamanan, dan kebenaran disatu pihak dengan kepentingan kelancaran dan kecepatan proses di lain pihak, itu merupakan seni menjalankan pemerintahan. Tetapi berdasarkan pengalaman, seni tersebut  harus selalu dibarengi dengan kualitas intelektual dan keterampilan para penyelenggaraan pemerintahan serta manajemen yang baik.




Perkembangan Birokrasi di Indonesia
Perkembangan birokrasi yang pada intinya dilaksanakan oleh para birokrat atau pegawai negeri di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan pengalaman negara sedang berkembang lain yang mendapat kemerdekaannya setelah Perang Dunia II. Di Indonesia ketentuan- ketentuan universal tentang pejabat negara juga tampak di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) pejabat negara adalah
1.        Presiden dan Wakil Presiden
2.        Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
3.        Mahkamah Agung (MA)
4.        Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
5.        Menteri- menteri
6.        Duta dan Konsul
7.        Gubernur, Bupati/ Walikota
8.        Jabatan-jabatan lain.

Di Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang terdapat empat tujuan, tugas dan kewajiban utama pemerintah dapat kita lihat jelas dalam isi Pembukaan UUD 1945, yaitu:
1.        Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.        Memajukan kesejahteraan umum;
3.        Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kecuali tugas keempat yang menyangkut politik luar negeri, maka ketiga tugas lainnya itu semuanya mengacu kepada kepentinganmasyarakat yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan kata lain tugas pokok pemerintah adalah melakukan pelayanan untuk masyarakat dan  melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pula. Dengan perkembangan seperti itu, semangat kepegawaian di Indonesia dapat sama dengan perkembangan kepegawaian di AS, yaitu merupakan sarana keikutsertaan rakyat di dalam kegiatan pemerintahan dan kehidupan bernegara.
Tantangan Masa Transisi
Dalam era otonomi daerah, tantangan yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah Indonesia cukup berat. Masa transisi dapat diartikan dalam dua hal. Yang pertama, adalah masa peralihan dari suatu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Peralihan kekuasaan yang terjadi dapat berlangsung secara normal atau tidak normal. Normal artinya peralihan terjadi setelah dilaksanaknnya pemilihan umum. Sedangkan yang tidak normal, misalnya karena perebutan kekuasaan atau revolusi. Yang kedua, adalah mengacu pada masyarakat yang sedang berada pada suatu tahapan perubahan dari kehidupan politik yang semula bersifat otoriter atau diktator beralih pada tatanan politik yang lebih demokratik atau sebaliknya. Kedua bentuk transisi ini sedang berlangsung secara bersamaan.

Peran yang diambil oleh birokrasi terutama dalam masa transisi, khususnya yang terkait dengan pergantian pemerintahan, tergantung pada factor penyebab pergantian tersebut. Jika pergantian kekuasaan terjadi secara normal, artinya pemerintahan baru muncul sebagai hasil pemilihan umum, maka biasanya eksekutif akan cenderung memilih birokrat berdasarkan system merit yang diperlukan untuk mendukung pemerintahannya. Birokrat yang diangkat itu kemudian mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah baru, mengikuti standar, peraturan dan prosedur yang berlaku serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks itu, netralitas birokrasi diartikan sebagai penyeragaman perilaku birokrasi yang mekanistik, yaitu birokrasi akan melakukan hal yang sama terhadap pemerintah yang akan datang. Diikut sertakannya birokrat dalam pengambilan keputusandan tidak hanya dalam pelaksanaan, lambat laun memperkuat kedudukan birokrasi.

Ada masalah birokrasi yang ditemukan di beberapa daerah:
v   Pertama, didalam aspek kelembagaan akan terjadiakan terjadi penyempitan struktur kelembagaan dari 19 dinas menjadi 10 dinas( suatu contoh di daerah), ini akan menimbulkan beberapa jabatan hilang dan akan dirasakan oleh PNS di lingkungan pemerintah daerah. Tetapi memang di sisi lain, akan terjadi efisiensi anggaran.
v   Kedua, belum melembaganya karakteristik good governance di dalam pemerintah daerah, baik dari segi kultur dan struktur serta nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan kaidah good governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik.
v   Ketiga, yang muncul di bidang kelembagaan, terutama yang ditemukan pada Pemda di Bali, yaitu dilemma terhadap penciutan (likuidasi)  lembaga-lembaga daerah. Sebagaimana diketahui, pelaksanakan otonomi sangat dipengaruhi empat faktor, yaitu pendanaan, personil, peralatan dan pengelolaan.
v   Keempat, keberlanjutan pembangunan daerah memerlukan institusi lokal yang mampu dan berdaya dalam menghadapi tantangan dan perubahannya. Namun saat ini ada upaya-upaya untuk membentuk institusi baru, tapi tidak memperhatikan keberadaan institusi-istitusi lama yang mungkin jika ditimgkatkan dan diberdayakan dapat menjalankan peran baru dan menjawab berbagai tantangan baru. Institusi-institusi itu harus mampu mewadahi semua aspek : sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
v   Kelima, restrukturisasi kelembagaan akan mengakibatkan pengangguran terselubung atau dipensiunkan/ pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, banyak daerah akan menerima beban permasalahan sosial dan ekonomi yang bertambah berat.
v   Keenam,  permasalahan professionalismenya tidak jalan, sehingga berpengaruh kepada kelembagaan. Dinamika  masyarakat sangat cepat dengan bidang masalah yang semakin multidimensional menuntut. Pemda menangani permasalahan daerah secara tepat dan professional. Di samping itu masih sering terjadi penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan keahlian.
v   Ketujuh, Meningkatnya kecenderungan untuk merekrut dan mempromosikan pegawai yang merupakan putra asli daerah. Tampaknya penerimaan pegawai tidak didahului dengan analisis kebutuhan yang rasional, tetapi lebih pada pertimbangan emosional  dan euphoria reformasi yang masih banyak dirasakna di daerah-daerah. Di samping itu juga diitemukan juga adanya beberapa pejabat birokrasi daerah yang terlibat KKN, birokrasi yang lamban, tidak responsive, tidak transparan dan sebagainya.

Pada masa transisi sekarang ini masih ditemukan beberapa kelemahan birokrasi pemerintah di daerah:
ü        Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-masing pemdahanya sekedar menampung personel dalam suatu jawaban structural;
ü        Partisipasi masyarakat masih rendah;
ü        Transparansi belum berjalan;
ü        Mekanisme kerja dan tugas yang tumpang tindih akan menyulitkan kalangan internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemda;
ü        Politisasi PNS tetap menggejala;
ü        Sistem karir yang tidak jelas  membuat persaingan tidak sehat;
ü        Belum siapnya aparatur birokrasi terhadap tuntutan perubahan.

Gejala Kegagalan Birokrasi
Gejala- gejala kemandegan atau kebangkrutan (discontinuity) birokrasi negara dapat mempengaruhi laju kemajuan Negara yang bersangkutan. Salah satu sebab menggejalanya korupsi di dalam tubuh birokrasi. Masalah korupsi dan semua yang terkait di dalamnya dan sampai sekarang belum terpecahkan disinggung oleh Prof. Sondang P. Siagian, MPA. Dalam bukunya yang berjudul Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi  dan Terapinya (1994). Ia menjelaskan secara panjang lebar dengan analogi suatu penyakit tentang patologi birokrasi, yang salah satunya adalah korupsi. Agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi  bebagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural danb teknologikal, dari berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan pengobatannya yang paling efektif. Sebaliknya, tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.

Patologi birokrasi dapat dikategorikan pada lima kelompok, yaitu:
1.        Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya managerial para pejabat di lingkungan birokrasi;
2.        Patologi yang disebabkan oleh kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3.        Patologi yang timbul   karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.        Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokratyang  bersifat disfungsional atau negative;
5.        Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam bebagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.

Beberapa masalah yang ditemukan dari analisis patologi tersebut, yaitu:
a.          Persepsi, perilaku dan gaya birokrasi;
b.        Kurangnya pengetahuan dan keterampilan;
c.         Pelangaran norma-norma hukum;
d.        Lingkungan internal birokrasi;

Tata Pemerintahan yang Baik
Tata pemerintahan yang baik atau good governance dewasa ini menjadi acuan untuk perbaikan birokrasi sesuai tuntutan reformasi. Miftah Thoha menyatakan, tata pemerintahan yang baik itu merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen public, konsep itu dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi public atau ilmu pemerintahan menekankan       kepada peranan manajer public agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong, meningkatkan otonomi manajerial, terutama mengurangi campur tangan control yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas public, dan diciptakan pengelolaan manejerial yang bersih bebas dari KKN.

UNDP merumuskan good governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP:1997). Istilah governance menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan kesejahteraan rakyatnya. Jelas bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata pemerintahannya, dimana pemerintah melakukan interaksi dengan pihak swasta dan masyarakat madani. Oleh karena itu, tiga unsure penting yang saling memengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan adalah negara, masyarakat, dan sektor swasta yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi  daerah.

Ada sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, yaitu:
·           Partisipasi
·           Penegakan hukum
·           Transparansi
·           Kesetaraan
·           Daya tanggap
·           Wawasan ke depan
·           Akuntabilitas
·           Pengawasan
·           Efisiensi dan efektivitas
·           Profesionalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar